HaiMalang.com – Totok Hariyono, anggota Bawaslu RI, menegaskan bahwa pemberi dan penerima uang di Pilkada dapat menerima sanksi pidana.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam kuliah tamu bertema “Gen Z Menuju Tatanan Politik di Era Digital” yang digelar Fakultas Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (Unikama) di Auditorium Multikultural Unikama, Jumat (22/11/2024).
Sebagai mantan wartawan dan kini menjabat di Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu RI, Totok menguraikan perbedaan sanksi politik uang antara Pemilu dan Pilkada. Ia menjelaskan bahwa pada Pemilu, hanya pemberi yang dikenai pidana, sementara dalam Pilkada, baik pemberi maupun penerima dapat diproses hukum.
“Kalau dalam Pemilu, yang kena pidana adalah pemberi. Tapi kalau dalam Pilkada, keduanya, pemberi dan penerima, bisa dijerat,” ujar Totok.
Totok merujuk pada Pasal 187A UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku politik uang, yakni penjara 3-6 tahun dan denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar. Aturan tersebut berbeda dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang memberikan sanksi lebih ringan dan hanya kepada pihak pemberi.
Totok yang sebelumnya merupakan anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur ini menambahkan jika masyarakat dapat berkontribusi dalam partisipatif dengan melaporkan dugaan pelanggaran yang terjadi selama pilkada 2024, termasuk politik uang.
“Bagaimana cara melapor? Anda bisa gunakan smartphone anda. Laporkan lewat Sigap Lapor Bawaslu. Tidak sebut nama tidak apa-apa, hanya ada informasi ada pelanggaran apa,” jelas totok.
Ia pun menegaskan komitmen Bawaslu dalam melakukan penindakan, termasuk bila anggota bawaslu tak mengindahkan laporan yang masuk.
“Kalau Bawaslu tidak mengindahkan laporan, laporkan saja. Sudah banyak yang tidak dipecati karena tidak mengindahkan laporan yang diproses di dewan etik. Tinggal satu klik anda bisa memberikan informasi awal,” sebutnya.
Ia menambahkan, peran mahasiswa sebagai generasi muda yang melek informasi akan sangat efektif karena bisa langsung menginformasikan dari mulut ke mulut pada keluarga di rumah dan rekan-rekannya.
“Nah ini banyak yang tidak tahu makanya peran genz kalau bisa mengakses informasi denga lengkap dan orang tuanya keluarganya dikasih tau”
Ia juga meminta para mahasiswa untuk tidak mudah ikut menyebarkan berita yang belum tentu benar. “Paling mudah adalah tidak menyebarkan fitnah dan bullying, dimana seharusnya ikut mengkaji setiap berita dan kabar yang beredar,” tuturnya.
Pemateri lainnya, Nizam Zakka Arrizal, S.H., M.Kn., dosen Fakultas Hukum Universitas PGRI Madiun, menambahkan bahwa politik uang masih menjadi persoalan yang mengakar dalam sistem demokrasi Indonesia. Ia menyinggung mahalnya biaya politik sebagai salah satu penyebab utama.
“Di tingkat desa saja, anggaran politik bisa mencapai Rp1 miliar. Semakin tinggi tingkatannya, tentu biayanya lebih besar,” ungkap Nizam.
Ia mengajak mahasiswa untuk memahami realitas tersebut dan berperan aktif dalam memperkuat demokrasi yang bersih melalui edukasi dan penyadaran kepada masyarakat.
Reporter: Imam
Editor: Imam Abu Hanifah