HaiMalang.com – Dalam rangka memperingati Hari Kartini, menarik untuk menelusuri kembali jejak langkah perjuangan RA Kartini yang tidak hanya terpatri dalam lembaran suratnya. Namun juga diwujudkan secara nyata melalui lembaga pendidikan Sekolah Kartini di Malang.
Lahirnya sekolah ini bukan sekadar simbol emansipasi, namun juga representasi perjuangan konkret dalam membuka akses pendidikan bagi perempuan.
Di Malang, peninggalan ini masih bisa dikenang lewat sebuah kawasan bernama “Bareng Kartini”, yang menjadi saksi sejarah dari keberadaan salah satu Sekolah Kartini di era kolonial.
Sejarah Berdirinya Sekolah Kartini di Malang, Tandai Lahirnya Emansipasi Pendidikan
Sekolah Kartini di Malang berdiri pada tahun 1915, terletak di Desa Bareng, antara Jalan Kelud dan Jalan Bareng Kartini. Sekolah itu berdiri dengan bangunan permanen yang termasuk besar pada zamannya.
Sekolah Kartini sendiri merupakan sekolah khusus perempuan yang dibentuk atas gagasan Conrad Theodor van Deventer, seorang tokoh Politik Etis asal Belanda.
Melalui tulisannya yang terkenal berjudul “Een Eereschuld” atau “Hutang Kehormatan” pada tahun 1899, Van Deventer menyerukan bahwa kemakmuran Belanda merupakan hasil eksploitasi dari wilayah jajahannya.
Oleh karena itu, menurut Van Deventer sudah sepatutnya Belanda membayar “hutang kehormatan” itu dengan berkontribusi balik kepada Hindia Belanda, terutama dalam bidang pendidikan.
Ahli hukum Belanda ini pun menggagas pendirian Sekolah Kartini di berbagai kota besar di Jawa. Sekolah pertama berdiri di Semarang pada tahun 1912, disusul oleh Batavia, Bogor, dan juga Malang.
Untuk mewujudkan cita-cita Kartini dalam meningkatkan taraf hidup kaum perempuan lewat pendidikan, Van Deventer mendirikan “Yayasan van Deventer”.
Jejak foto siswa dan bangunan Sekolah Kartini di Malang (Foto: Dok.)
Menurut sejarawan Kota Malang, M. Dwi Cahyono dalam ulasan di laman Facebooknya, gagasan Van Deventer juga tertuang dalam penerbitan surat- surat Kartini dengan judul “Door duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Buku yang terbit tahun 1911 itu meraih sukses besar pada publik di Belanda hingga kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Indonesia, Melayu, Sunda, dan Jawa.
“Penerbitan surat-surat Kartini itu sebagai usaha untuk mencari dana guna mendirikan sekolah- sekolah perempuan di Jawa. Upaya ini buahkan keberhasilan, sehingga akhir tahun 1911 dibentuk “Komite Sementara”, yang diketuai oleh Baronesse van Hogendorps Jacob. Anggotanya antara lain pasangan JH Abendanon,” tulis Dwi Cahyono.
Kawasan tempat berdirinya Sekolah Kartini di Malang lantas dikenal dengan sebutan “Bareng Kartini”, sebuah nama yang hingga kini masih melekat sebagai identitas kampung.
Sekolah ini menjadi bagian dari jaringan pendidikan perempuan pada masa Hindia Belanda, dengan pengelolaan dan pengajaran yang banyak melibatkan perempuan Indonesia sendiri.
Kontribusi Sekolah Kartini di Malang
Tak sekadar sebagai tempat belajar, Sekolah Kartini di Malang juga menjadi pusat perawatan bagi siswa dari sekolah lain yang mengalami gangguan kesehatan.
Berdasarkan kesaksian masyarakat tua yang hidup di era tersebut, sekitar tahun 1920–1930, para siswa HIS dan ELS dari Jawa Timur yang sakit atau kekurangan gizi kerap dikirim ke Sekolah Kartini di Malang untuk menjalani pemulihan selama satu bulan.
Program pemulihan ini mencakup konsumsi vitamin, minyak ikan, serta kegiatan rekreasi seperti naik trem menuju Pemandian Wendit atau berwisata ke Batu.
Dwi Cahyono menilai Sekolah Kartini juga menginspirasi lahirnya sekolah khusus perempuan pada era Orde Lama dan Orde Baru.
Kala itu, terdapat sekolah negeri SKP (Sekolah Ketrampilan Putri) untuk jenjang SLTP dan SKKA (Sekolah Keprndidikan Ketrampilan Atas) untuk Jenjang SLTA.
“Sayang sekali sekolah yang mendapat inspirasi dari gagasan mulia Kartini dan Sartika itu pada akhirnya dihapus untuk digantikan dengan SMP untuk SKP dan SMK untuk SKKA,” tulis Dwi Cahyono.
Sisa Jejak Sekolah Kartini di Malang
Kini, jejak fisik dari Sekolah Kartini di Malang tak sepenuhnya lenyap. Gedung yang dulunya digunakan kini telah berubah nama menjadi SDN Bareng 1, terletak di Jalan Kelud.
Meskipun telah mengalami renovasi, beberapa bagian bangunan masih menyimpan bentuk asli seperti denah dan model atap memanjang.
Menurut Dwi Cahyono, bangunan ini memiliki nilai historis tinggi dan layak untuk dijadikan sebagai cagar budaya.
“Meskipun kini sebagai nama sekolah nama “Sekolah Kartini” di Bareng telah tidak digunakan lagi, tapi unsur nama “Kartini” tetaplah terabadikan pada nama kampung, yaitu “Bareng Kartini,” sebutnya dalam tulisan.
Sementara itu, versi lain yang dikutip dari Detik.com, pemerhati sejarah Kota Malang, Agung Buana menyebutkan bahwa Sekolah Kartini semula berdiri di lokasi eks Bioskop Kelud.
Namun kemudian dipindahkan ke Jalan Kawi—yang kini menjadi SDN Bareng 2 di samping Kantor KNPI—karena kebutuhan perluasan lahan gudang kopi di sekitarnya.
Adanya Sekolah Kartini di Malang juga sempat menginspirasi Pemerintah Kota (Pemkot Malang) untuk menggelar Sekolah Kartini melalui Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos-P3AP2KB).
Dalam penyelenggaraan yang keempat pada April 2024 lalu, program Sekolah Kartini Dinsos-P3AP2KB 2024 berlangsung selama sepuluh hari dan diikuti oleh 98 peserta. Peserta dibagi ke dalam dua kelas, yaitu kelas A untuk perempuan muda berusia 17–24 tahun yang belum menikah, serta kelas B untuk ibu rumah tangga.