KOTA BATU, HaiMalang.com – Asal mula nama Kota Batu dipercaya berasal dari ulama pengikut Pangeran Diponegoro bernama Abu Ghonaim, yang dikenal masyarakat setempat sebagai Kyai Gubug Angin atau lebih akrab dipanggil Mbah Wastu.
Seiring waktu, dalam kebiasaan masyarakat Jawa yang sering mempersingkat nama seseorang, sebutan Mbah Wastu berubah menjadi Mbah Tu, hingga akhirnya disingkat lagi menjadi “Batu”.
Nama Batu kemudian menjadi umum dijadikan penyebutan nama daerah wisata yang kini dikenal sebagai Kota Batu. Wilayah Kota Batu yang awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Malang kemudian resmi menjadi kota pada 17 Oktober 2001.
Meskipun banyak cerita turun-temurun yang menyebut asal-usul nama “Batu”, hingga kini belum ada dokumen atau bukti pasti yang menunjukkan kapan tepatnya nama itu mulai digunakan.
Beragam Versi Sosok Mbah Mbatu yang Diyakini Jadi Asal Mula Nama Kota Batu
Saat menggali lebih dalam mengenai asal-usul nama Kota Batu, kita akan menemukan beberapa versi cerita yang berkaitan dengan Mbah Wastu. Salah satu versi menyebutkan bahwa Mbah Wastu adalah Abu Ghonaim, seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro.
Abu Ghonaim meninggalkan tanah kelahirannya di Jawa Tengah dan pindah ke kaki Gunung Panderman untuk menghindari pengejaran serta penangkapan oleh tentara Belanda.
Setibanya di sana, Abu Ghonaim, atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Wastu, memulai kehidupan baru bersama masyarakat setempat. Banyak penduduk dari berbagai daerah berdatangan untuk belajar agama dan berguru kepadanya.
Pada awalnya, mereka tinggal dalam komunitas-komunitas kecil di wilayah Bumiaji, Sisir, dan Temas, namun seiring waktu, komunitas tersebut berkembang menjadi masyarakat yang ramai dan makmur. Nama Abu Ghonaim juga tercatat dalam buku “Asal-usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe” karya Zaenuddin HM.
Makam beberapa tokoh yang diyakini menjadi asal mula nama Kota Batu (Foto: Dok. Dwi Cahyono)
Selain itu, ada versi lain yang menyebutkan bahwa Mbah Wastu adalah Dewi Condro Asmoro, yang dikenal dengan sebutan Mbah Tu atau Mbah Tuwo.
Ia merupakan istri Pangeran Rohjoyo, seorang keturunan Kerajaan Majapahit. Cerita ini memiliki kesamaan dengan kisah yang pernah diungkapkan oleh Gus Musrifin, pengasuh Padepokan Panotogomo Bumiaji.
Menurutnya, Mbah Mbatu sebenarnya bernama asli Dewi Condro Asmoro, putri dari Raden Mas Haryo Dikoro Arjo Tedjo II, Bupati Tuban kelima.
Dewi Condro Asmoro menikah dengan Tumenggung Satim Singomoyo, seorang bangsawan Majapahit yang beragama Islam.
Saat perang melawan Kerajaan Keling Daha Jenggala Kediri, Tumenggung Satim gugur, sementara Dewi Condro Asmoro melarikan diri bersama 100 prajurit dan tiga orang Pandego.
Selain Mbah Wastu, beberapa tokoh lain juga dikenal sebagai perintis Kota Batu, di antaranya adalah Dewi Mutmainah dan Kyai Naim.
Dewi Mutmainah merupakan istri muda Pangeran Rojoyo, putri dari Syekh Maulana Muhammad, yang merupakan keturunan Sunan Gunung Jati.
Sementara itu, Kyai Naim adalah sahabat seperjuangan Pangeran Rojoyo dari Mataram yang turut membantu dalam penyebaran Islam di Batu.
Beberapa tokoh ini dimakamkan di kompleks pemakaman Mbah Mbatu yang terletak di Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.
Di dalamnya terdapat makam para leluhur yakni Syekh Abul Ghonaim (Pangeran Rojoyo), Dewi Condro Asmoro (Mbah Tu), Kyai Naim dan Dewi Mutmainah. Lokasinya berjarak sekitar 3,7 kilometer atau sekitar 10 menit perjalanan dari Alun-Alun Kota Batu.
Perbedaan Pendapat Sejarah Awal Mula Kota Batu, Mbah Mbatu Bukan yang Pertama
Mengenai asal-usul nama Kota Batu, sejarawan M. Dwi Cahyono memiliki pandangan yang berbeda. Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Daerah Batu, Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa (2011), ia menegaskan bahwa lebih tepat jika Mbah Batu dan Bambang Selo Utomo diakui sebagai tokoh yang berperan penting dalam penyebaran Islam.
Mereka memperkuat ajaran Islam di sekitar tahun 1820-an, pada masa Pangeran Diponegoro, dengan lokasi syiar yang mencakup wilayah Batu Utara, termasuk Desa Bumiaji dan Punten.
Namun, menurut Dwi Cahyono, kurang tepat jika Mbah Wastu dianggap sebagai sosok pertama yang menyebarkan Islam di Kota Batu. Dalam ulasannya di laman Batukita.com, ia menjelaskan bahwa pengaruh Islam di Batu sudah hadir jauh sebelum era Mbah Wastu, dimulai dari runtuhnya Kerajaan Sengguruh (kerajaan Hindu terakhir di Jawa Timur) pada tahun 1534 Masehi, diikuti oleh pendudukan Mataram Islam atas wilayah Malang Raya pada tahun 1614.
Pengaruh Islam juga semakin kuat setelah kedatangan pasukan Trunojoyo yang kalah dari Kompeni Belanda di Ngantang pada 1679, serta syiar Islam di bawah pemerintahan Untung Surapati pada 1700-an. Sejumlah tokoh lokal juga diyakini berperan penting dalam memperkuat penyebaran Islam sekitar tahun 1830-an, di antaranya adalah:
- Mbah Mas di Besul
- Mbah Macan Kopek di Sisir
- Mbah Bener di Temas
- Eyang Jugo di Junggo
- Mbah Masayu Sinto Mataram di Ngaglik
- Mbah Gadung Mlati di Punten
Selain tokoh-tokoh tersebut, terdapat pula makam-makam Islam kuno di berbagai tempat, seperti di Macari, Sisir, dan Pesanggrahan. Beberapa makam kuno ini, termasuk makam tokoh legendaris di Banaran, Besul, dan Ngaglik, menunjukkan adanya lapisan sejarah yang berasal dari masa yang lebih tua.
Dwi Cahyono juga menolak anggapan bahwa Mbah Wastu atau Mbah Batu adalah orang pertama yang membuka wilayah Batu (babad alas), karena pemukiman di Batu sudah ada jauh sebelum kehadiran tokoh seperti Dewi Condro Asmoro, Pangeran Rohjoyo, atau Abu Ghonaim.
Wilayah Bumiaji dan Punten bahkan telah dihuni sejak zaman prasejarah, dan aktivitas sosial-budaya telah berlangsung di Batu sejak Masa Bercocok Tanam.
Pada masa Hindu-Buddha, Batu telah menjadi pemukiman yang ramai dan penting, serta diakui oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Kanyuruhan, Mataram, Singhasari, dan Majapahit.
Beberapa desa di wilayah Batu, seperti Sangguran, Batwan, dan Deseng Batu, bahkan menyandang status “desa perdikan (sima)”. Situs-situs agama Hindu juga ditemukan di berbagai penjuru Batu, termasuk di desa-desa sekitar Bumiaji.
Selain itu, dalam sejarah, Batu dikenal sebagai tempat peristirahatan keluarga Kerajaan Medang pada abad ke-10. Mpu Sindok, raja kerajaan tersebut, memerintahkan Mpu Supo untuk membangun tempat peristirahatan di pegunungan dengan sumber mata air. Hasil pencarian Mpu Supo mengarahkan ke lokasi yang kini dikenal sebagai kawasan wisata Songgoriti Batu.
Itulah beberapa cerita mengenai asal mula nama Kota Batu, semoga menambah khazanah dan wawasan terhadap warisan sejarah dan budaya.
Writer: Imam Abu Hanifah
Editor: Imam