Home PendidikanDisertasi Doktor Ungkap Model Kampus Inklusif, Disabilitas Bukan Penentu Gagal Akademik

Disertasi Doktor Ungkap Model Kampus Inklusif, Disabilitas Bukan Penentu Gagal Akademik

by Redaksi Hai Malang
0 comments

Haimalang – Disabilitas bukanlah penentu kegagalan akademik. Lingkunganlah yang kerap menjadi faktor kunci.

Temuan ini mengemuka dalam disertasi Eva Meizara Puspita Dewi, S.Psi, M.Si., Psikolog, yang mengkaji makna locus of control pada mahasiswa disabilitas di Universitas Brawijaya (UB).

Ujian disertasi berlangsung Jumat (19/12) di ruang B.4.226, Kampus Universitas Negeri Malang (UM).

Eva, yang menempuh studi doktoral Psikologi Pendidikan di UM itu mengangkat disertasi berjudul Makna Locus of Control Mahasiswa Disabilitas: Berbasis Photovoice.

Penelitian ini melibatkan mahasiswa inklusi UB sebagai subjek utama penelitian.

Kampus inklusif

Dr. Eva Meizara Puspita Dewi, S.Psi, M.Si., Psikolog

Locus of Control Tidak Bisa Dipisahkan

Eva menemukan bahwa pada penyandang disabilitas, konsep locus of control tidak bisa dipahami secara hitam-putih sebagai internal atau eksternal.

“Keduanya saling berinteraksi,” jelas dosen Universitas Negeri Makassar tersebut.

Dia juga menambahkan, sekuat apa pun kemampuan individu, tanpa dukungan lingkungan, potensi itu sulit berkembang.

Temuan ini menegaskan bahwa mahasiswa disabilitas secara objektif membutuhkan fasilitasi, bantuan, dan sistem pendukung, bukan sebagai bentuk ketergantungan, melainkan sebagai jembatan menuju kemandirian.

Tiga Pilar Kampus Inklusif

Disertasi ini juga merumuskan model kampus inklusif yang terdiri atas tiga dimensi utama.

Pertama, dimensi struktural, meliputi kebijakan kampus, SOP, serta sarana dan prasarana ramah disabilitas. Struktur ini menjadi fondasi formal inklusivitas.

Kedua, dimensi relasional, yaitu iklim sosial kampus yang ditandai hubungan hangat antara dosen dan mahasiswa, kehadiran relawan, serta budaya akademik yang menghargai keberagaman.

Ketiga, dimensi religiusitas yang merupakan lokus eksternal justru menguatkan lokus internalnya dan menjadikan mereka lebih termotivasi untuk sukses.

Padahal, biasanya lokus eksternal itu akan menjadikan orang pasrah dengan keadaan.

Namun hal itu berbeda dengan mahasiswa disabilitas yang justru menjadi kekuatan untuk lebih kuat berusaha, bersyukur dan bermakna. Dimensi ini memperkuat nilai kemanusiaan dan penerimaan sosial.

Pandangan Dosen Penguji Eksternal

Dosen penguji eksternal dari Universitas Indonesia, Prof. Frieda Maryam Mangunsong Siahaan, Psikolog., mengatakan bahwa inti disertasi ini adalah memberdayakan tanpa mematikan daya juang.

“Disabilitas bukan berarti tidak bisa. Yang dibutuhkan adalah kesempatan, kepercayaan, dan lingkungan yang mendukung,” kata guru besar bidang ABK (anak berkebutuhan khusus) tersebut.

Menurutnya, mahasiswa disabilitas tidak boleh langsung diberi label “tidak mampu”.

Kampus inklusif

Dr. Eva (tengah) bersama para dosen penguji internal dan eksternal.

“Kalau kompetensi belum ada, tugas lingkungan bukan melarang, tapi memfasilitasi proses belajarnya.”

Ia menilai temuan ini sejalan dengan Self-Determination Theory (SDT) yang menekankan kebutuhan akan kompetensi, otonomi, dan keterhubungan (relatedness), yang sejak awal harus dibangun dari keluarga hingga perguruan tinggi.

Relevan untuk Semua Kampus

Prof. Frieda menilai model kampus inklusif yang dirumuskan Eva bersifat aplikatif.
“Model ini sangat mungkin diterapkan di kampus lain, tidak hanya di UB.”

Disertasi ini mempertegas bahwa pengembangan mahasiswa, khususnya penyandang disabilitas, tidak cukup dilakukan secara kognitif, tetapi harus ditopang oleh sistem kampus yang inklusif secara struktural dan sosial.

“Saya sangat mengapresiasi penelitian ini,” tandasnya saat menghadiri malam syukuran yang dihadiri kolega-kolega Eva, di RM 52 Kota Malang.

penulis : Happy Khan

You may also like