Home PendidikanEva Meizara Angkat Suara Mahasiswa Disabilitas Lewat Riset dan Pameran Photovoice

Eva Meizara Angkat Suara Mahasiswa Disabilitas Lewat Riset dan Pameran Photovoice

by Redaksi Hai Malang
0 comments

Haimalang – Eva Meizara angkat suara mahasiswa disabilitas melalui pendekatan unik dalam penelitian doktoralnya. Melalui metode photovoice, psikolog sekaligus akademisi ini memberi ruang bagi mahasiswa disabilitas untuk mengekspresikan harapan, tantangan, dan refleksi diri mereka lewat foto dan narasi pribadi.

Perempuan dengan nama lengkap Eva Meizara Puspita Dewi SPsi MSi, meneliti lebih jauh bagaimana anak berkebutuhan khusus merefleksikan dirinya. Hal ini bukan tanpa sebab, anak berkebutuhan khusus (ABK) mempunyai refleksi diri yang mendalam.

Eva menuangkan dalam penelitian berjudul Menyimak Perjalanan Lokus Kendali Mahasiswa Disabilitas di Kampus Inklusif Lewat Photovoice.

Penelitian yang bakal mengantarkan gelar doktornya tersebut dirangkai melalui pameran Hasil photovoice Madif (mahasisa disabilitas) yang ada di PLD (pusat layanan disabilitas) UB (Universitas Brawijaya).

Kegiatan pameran berlangsung di Cerita Spektra Coffee & Etery, Sabtu (23/8) dengan mengundang sepuluh mahasiswa disabilitas yang merupakan responden penelitian. Mereka semua berstatus mahasiswa di salah satu PTN di Malang dari berbagai prodi dan angkatan.

”Ini tahap akhir disertasi saya, sebelum nanti memasuki tahap ujian. Hasil pameran bagian ini dari proses penyelesaian disertasi karena participatory action research sehingga harus memberdayakan para partisipan,” ungkap mahasiswa Program Doktor Fakultas Psikologi UM (Universitas Negeri Malang) tersebut.

Pameran menampilkan foto-foto dan narasi yang dibuat langsung oleh 10 responden disabilitas sebagai wujud ekspresi, harapan, tantangan serta kekuatan mereka dalam meraih kesetaraan, kesuksesan akademik di kampus inklusi.

Peneliti meyakini, melalui lensa para mahasiswa disabilitas, masyarakat diajak melihat dunia mereka dari sudut pandang yang sering luput dari perhatian secara umum. Setiap foto bukan sekadar gambar, tetapi suara dan keberanian untuk menegaskan kesetaraan.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Makassar tersebut berharap, melalui pameran ini menjadi awal dari percakapan lebih luas tentang bagaimana masyarakat umum bisa meruntuhkan sekat dan membangun budaya inklusi yang otentik.

Lulusan program profesi Psikolog UGM itu menjelaskan, model penelitian menggunakan photovoice ini membutuhkan kecermatan yang luar biasa. Karena biasanya hanya menggunakan metode wawancara, observasi selesai.

Sedangkan photovoice memberikan ruang seluas-luasnya pada partisipan untuk mencari objek foto yang sangat berarti dan menceritakannya dengan detil dan sebagai bahan bagi peneliti untuk deep interview. Selanjutnya peneliti memaknai cerita-cerita yang disampaikan para partisipan.

”Saya menggunakan 11 partisipan, dua cerebal palcy, dua tunanetra, dua tunarungu, dua tunadaksa, dua tunagrahita (mental). Tapi 1 partisipan tidak datang karena masih berada di Jakarta karena menjalani terapi. Setiap responden tentu memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda,” ungkap alumnus Program Pascasarjana Fakultas Psikologi UMM tersebut.

Eva memberikan contoh pada responden tunanetra, bagaimana bisa menghasilkan foto sementara dia tidak bisa melihat. “Perjalanan mereka menghasilkan karya berupa foto ternyata juga menjadi tantangan bagi responden. Tapi yang membuat saya bangga adalah, mereka tetap berupaya bahkan menghindari untuk dikasihani,” katanya.

Seperti pada responden tunanetra tersebut, dia meminta volunteernya mencarikan objek foto yang diinginkan lalu menarasikan objek foto itu dengan detil. ”Salut, ya membuat saya meleleh. Perjuangan mereka luar biasa,” tandasnya.

Responden cerebal palsy menceritakan, ia memotret objek tangga yang melengkung menuju lantai bawah. Mengapa dia memilih objek tangga? ternyata bagi dirinya objek tersebut membuatnya jengkel.

Baca juga Dosen Universitas Katholik Widya Karya Malang Dapat Hibah Penelitian dari Kemendikbudristek, Kaji Pajak Karbon pada Industri Tempe

Melalui foto tersebut responden menceritakan rasa jengkelnya bahkan bisa mengeluarkan semua unek-uneknya. Alasannya, karena dia tidak bisa melewatinya. Ia harus menunggu lift dan antre lama sekali.

“Ada juga yang memotret gedung kampus, menjulang tinggi. Ternyata mimpinya ingin setinggi gedung itu,” katanya.

Model penelitiannya tersebut, sebenarnya bisa juga digunakan untuk orang normal. Namun Eva lebih memilih pada mahasiswa disablitas karena Eva pernah melakukan penelitian yang menggunakan responden siswa dan sudah pernah dilakukan saat menyelesaikan tesisnya.

Selain itu, atas kondisi riil sekarang, di mana kampus pun harus memfasilitas kebutuhan pendidikan untuk mahaiswa disabilitas.
Hanya memang belum semua perguruan tinggi di Indonesia berani dan mampu melakukan itu. Beberapa kampus, misalnya di Malang, UB merupakan kategori kampus pelopor ramah disabilitas di Indonesia.

Sehingga menjadi rujukan kampus lainya seperti UI, Unpad, UGM dan Unair. Sejumlah kampus tersebut pun brench marking ke sana. Inilah alasan peneliti mengapa memilih kampus UB.

Maka harapannya, hasil penelitiannya ini bisa dijadikan prototipe bagi kampus lain yang akan membuka layanan untuk mahaiswa disabilitas.

Kembali Eva menjelaskan, model tersebut menekankan bahwa mahasiswa disabilitas tidak sekadar hadir untuk bertahan, tetapi punya potensi untuk bertumbuh dan bermakna jika kampus mampu menciptakan ekosistem inklusi yang dinamis.

Seperti apa gambaran lingkungan kampus inklusi? Eva mendeskripsikan melalui bagan visualisasi model dinamis kampus inklusif (MDKI) yang berakar pada relasi dan budaya. Meliputi, inklusi struktural terdiri dari PLD (pusat layanan disabilitas) dan afirmasi, fasilitas akses dan volunteer.

Inklusi relasional, merujuk pada adanya dukungan teman, komunitas dan empati dosen. Serta inklusi reflektif – spiritual yakni tentang makna hidup, spiritualitas penerimaan diri.

Pada pameran tersebut selain menghadirkan 10 responden madif, hadir juga promotor Prof Fattah Hanurawan, co-promotor Dr Nur Eva Psikolog, Ketua Pusat Layanan Disabilitas UB Zubaidah MPhil PhD.

Selain itu para pendamping responden, beberapa ormas atau komunitas disabilitas, mahasiswa S3 UM lintas jurusan yang merupakan dosen baik dari Jawa maupun luar Jawa, guru SMK dan perwakilan Komnas Anak.

”Kampus inklusi bukan hanya soal fasilitas tentunya, tetapi juga tentang ruang hati. Photovoice adalah bukti nyata bahwa mahasiswa disabilitas mampu bersuara dan berkontribusi setara dengan mahasiswa lainnya,” jelas Eva.

Berkat perhatiannya yang serius pada pendidikan inklusi dan disabilitas ini, Eva pun telah diminta menjadi konsultan pendirian Unit Layanan Disabilitas sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di Makassar.

Sementara itu, dari sepuluh responden yang menyatakan pendapat pada acara pameran, terangkum sebuah kesimpulan menarik. Mereka menyatakan setelah mengikuti penelitian ini, merasa lebih percaya diri bahkan menyadari perjalanan hidupnya.

Kelebihannya juga, menguatkan makna spiritual dalam hidupnya. Serta, tumbuhnya rasa percaya diri yang sangat membantu untuk kelangsungan hidup ke depannya.

Seperti yang disampaikan salah satu responden tunadaksa. Mahasiswi yang kehilangan salah satu tangan kanan karena kecelakaan tersebut merasa, selama ini merasa seakan-akan prestasi hanya miliki anak normal. Suatu ketika ada lomba baca puisi. Niatnya untuk mengikuti ditolak panitia karena dianggap tidak memenuhi persyaratan.

“Saya sedih ketika itu. Padahal saya masih bisa mengikuti lomba. Setelah mengikuti penelitian ini, saya menjadi lebih semangat. Malah PD (percaya diri), karena sudah bisa menerima masa lalu saya itu,” ungkap di hadapan peserta yang membuat merinding seluruh hadirin yang datang.

Pameran yang diselenggarakan peneliti itu berlangsung sukses. Para tamu undangan yang hadir tidak hanya berkesan namun juga menyampaikan apresiasi positif. Seperti Meyritha, dosen Untag Samarinda.

Eva Meizara angkat suara mahasiswa disabilitas

Foto bersama di Pameran Photovoice Madif (mahasiswa disabilitas) yang Ada di PLD (pusat layanan disabilitas) UB mendapat support banyak pihak. Berlangsung di Cerita Spektra Coffe & Etery.

Menurutnya, photovoice menjadi ruang baru bagi mahasiswa disabilitas untuk lebih mengekspresikan diri. Bukan hanya lewat suara atau perilaku. Namun melalui gambar yang sarat makna.

”Foto-foto ini adalah cerminan perasaan, media katarsis sekaligus bukti keikhlasan mereka sebagai minoritas yang tetap berani menunjukkan diri pada dunia. Pameran ini luar biasa, karena memberi kesempatan nyata bagi mereka untuk didengar dan diapresiasi secara setara,” ungkap Meyritha. (hap)

You may also like