HaiMalang.com – Salah satu wujud kekayaan budaya Malang Raya tercermin dalam ragam tari khas Malang yang masih lestari hingga kini.
Masing-masing tarian khas Malang sarat nilai historis dan simbolis. Dari yang berfungsi sebagai penyambutan tamu, penghormatan terhadap leluhur, hingga bagian dari ritual tolak bala, setiap tarian memiliki filosofi dan cerita yang khas, menjadikan kesenian ini lebih dari sekadar hiburan semata.
Mulai dari Tari Topeng Malang yang kompleks dengan unsur wayang, Tari Grebeg Wiratama sebagai bentuk penghargaan kepada para pejuang, hingga Tari Srimpi Lima yang menjadi bagian penting dalam ritual ruwatan.
Setiap tarian tidak hanya memukau dari sisi gerak dan kostum, tapi juga menyimpan makna budaya yang patut untuk terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Berikut ini beberapa tari khas Malang yang Lestari hingga kini.
Tari Topeng Malang: Kesenian Tari Khas Malang Cerita Panji yang Penuh Makna
Wayang Topeng Malang merupakan bentuk seni pertunjukan tradisional yang berasal dari kawasan Malang, Jawa Timur.
Seni tari Topeng Malang tidak sekadar pertunjukan tari. Di dalamnya, terkandung unsur seni pedalangan, seni pembuatan topeng (ukir), seni kostum atau riasan panggung (rapek), musik tradisional (karawitan), hingga nyanyian khas sinden. Karena kompleksitas unsur seni yang ada, para pelestari budaya lebih suka menyebutnya sebagai Wayang Topeng Malang ketimbang hanya sekadar Tari Topeng.
Berdasarkan data dari Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal Indonesia, narasi yang kerap menjadi dasar dalam pertunjukan Wayang Topeng Malangan adalah kisah Panji. Beberapa tokoh utama dalam kisah ini antara lain Raden Panji Inu Kertapati (atau Panji Asmarabangun), Galuh Candrakirana, Dewi Ragil Kuning, dan Raden Gunungsari.
Menilik Sejarah Wayang Tari Topeng Malang
Kurangnya literasi budaya di kalangan generasi muda membuat sejarah Wayang Topeng Malang tidak banyak dikenal, meski seni ini menjadi ikon budaya di wilayah Malang Raya (yang mencakup Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu).
Jejak sejarah seni topeng ini dapat ditelusuri melalui Prasasti Himad dan Prasasti Dinoyo dari era pemerintahan Mpu Sindok pada abad ke-8 Masehi. Di masa penjajahan Belanda, seorang budayawan bernama Theodore Gautier Thomas Pigeaud juga sempat mendokumentasikan eksistensi seni ini dalam bukunya Javaanse Volksvertoningen (1938), yang mengisahkan tentang 21 set topeng dengan jumlah masing-masing 40–60 buah.
Sejak dekade 1930-an hingga kini, tercatat kurang dari 15 kelompok seni topeng yang aktif di kawasan Malang Raya. Beberapa di antaranya berasal dari wilayah Jabung, Tumpang, Glagahdowo, Gubuk Klakah, Duwet, Pakisaji, Lowok, Kranggan, Senggreng, Jatiguwi, Jambuer, dan Pijiombo.
Ciri Khas Gerakan Tari Topeng Malangan
Tari Topeng Malangan dibawakan oleh para penari dari kelompok seni atau sanggar, dengan mengenakan topeng dan kostum yang mencerminkan karakter dalam cerita. Gerakan tari disesuaikan dengan peran yang dimainkan.
Mengutip dari situs Media Center Kendedes milik Pemerintah Kota Malang, salah satu posisi khas dalam tarian ini disebut “tanjak”, di mana kedua kaki dibuka selebar tiga telapak kaki dengan arah menghadap ke kanan dan kiri. Seluruh tubuh penari ikut berperan dalam tari ini—mulai dari kepala, tangan, badan, hingga kaki—dan semuanya menyesuaikan dengan alur cerita yang dibawakan.
Properti Utama dalam Tari Topeng Malangan
Topeng kayu yang diukir secara khusus menjadi elemen utama dalam tari ini, disesuaikan dengan karakter tokoh yang diperankan. Selain topeng, kostum juga memainkan peran penting dalam mendukung visualisasi cerita.
Beberapa properti tambahan yang sering digunakan meliputi:
- Sampur: Kain panjang yang biasanya diletakkan di pundak penari sebagai pelengkap gerakan.
- Selendang: Mirip dengan sampur namun lebih pendek, biasanya diikatkan di bagian pinggang.
- Mahkota dan Anting: Mahkota digunakan untuk memperkuat karakter tokoh bangsawan atau raja, sedangkan anting terpasang sebagai bagian dari mahkota.
Tari Grebeg Wiratama: Simbol Kepahlawanan dalam Gerak dan Irama
Satu lagi tari khas Malang yang patut dikenali adalah Tari Grebeg Wiratama. Tarian ini sarat akan nilai-nilai kepahlawanan dan menjadi wujud penghormatan terhadap para prajurit yang pernah membela tanah air.
Latar Belakang dan Filosofi
Diciptakan sebagai penghormatan terhadap para pejuang bangsa, Grebeg Wiratama menyimpan kisah heroik yang diwariskan secara turun-temurun. Kata “Grebeg” mengacu pada perayaan atau arak-arakan, sementara “Wiratama” menggambarkan sosok prajurit pemberani dan penuh semangat.
Dinamika Gerakan dan Musik Pengiring
Gerakan dalam tarian ini mencerminkan jiwa prajurit yang tegas dan siap menghadapi tantangan. Tarian Grebeg Wiratama biasanya dibawakan oleh penari dengan kostum layaknya prajurit, lengkap dengan pedang dan tameng sebagai atribut.
Alunan musik pengiring yang berasal dari instrumen tradisional seperti gamelan menambah kesan megah, menciptakan suasana yang penuh heroisme dan semangat perjuangan.
Tari Bedayan Malang: Lambang Sambutan Penuh Hormat dan Kesederhanaan
Tari khas Malang selanjutnya adalah Tari Bedayan yang sering dipentaskan dalam rangka menyambut tamu. Tarian ini menyiratkan nilai keterbukaan dan kehangatan masyarakat Malang, sekaligus mencerminkan karakter mereka yang jujur dan ramah. Inspirasi utama tarian ini berasal dari kisah mitologis pertemuan para raja Jawa dengan tokoh mistis Nyi Roro Kidul.
Berbeda dengan Tari Beskalan yang juga digunakan untuk menyambut tamu, Tari Bedayan mengandung pesan yang lebih mendalam. Ia menggambarkan sikap penghormatan yang tinggi, serta penghargaan atas kehadiran tamu dalam sebuah pertemuan budaya atau acara adat.
Gerakan dan Penampilan Tari Bedayan
Tarian ini dibawakan secara berkelompok oleh sembilan penari perempuan, yang masing-masing menampilkan gerakan lembut dan anggun mengikuti irama gamelan pelog yang mengalun syahdu. Nuansa musik yang sendu dan tempo yang pelan menjadi bagian penting yang menguatkan sisi emosional dari tarian ini.
Setiap penari mengenakan kostum khas berupa dodot dan selendang, lengkap dengan tata rias paes yang menambah kesan estetis. Menariknya, setiap penari memiliki peran unik dengan nama-nama yang berbeda, antara lain Apit Ngajeng, Apit Meneng, Apit Wingking, Batak, Buncit, Dada, Endel, Endel Weton, dan Gulu.
Walau tiap penari menampilkan peran dengan gerakan berbeda, keseluruhan tarian tetap tampak harmonis berkat keselarasan formasi dan musik pengiring.
Tari Beskalan Malang: Tarian Feminin yang Penuh Energi dan Filosofi
Pada mulanya, Tari Beskalan merupakan bagian dari upacara adat untuk menghormati Dewi Kesuburan atau Dewi Sri, terutama dalam tradisi penanaman padi.
Namun, seiring waktu, tarian ini berubah fungsi menjadi tarian penyambutan tamu yang sering dipertunjukkan dalam berbagai acara penting seperti resepsi pernikahan, festival budaya, dan upacara adat lainnya.
Menariknya, di masa lalu, tarian ini kerap dibawakan oleh laki-laki yang berdandan dengan busana perempuan. Kini, Tari Beskalan lebih sering ditarikan oleh perempuan dengan gaya gerak yang luwes, halus, dan penuh keanggunan.
Ciri dan Nilai yang Dikandung
Tarian tradisional khas Malang ini memiliki beberapa ciri menonjol, seperti:
- Gerakan: Lembut, anggun, dan mencerminkan keanggunan wanita.
- Iringan Musik: Menggunakan gamelan laras slendro khas Jawa Timur.
- Makna: Mengandung pesan penghormatan, ucapan selamat datang, serta rasa syukur atas pertemuan.
- Sejarah: Diciptakan oleh seorang seniman tandak bernama Miskayah sekitar tahun 1930-an.
- Fungsi: Awalnya sebagai ritual, kini juga digunakan sebagai hiburan dan tarian penyambutan.
Salah satu variasi dari tarian ini adalah Tari Beskalan Putri, yang secara khusus dibawakan oleh penari wanita dan dikenal memiliki gerakan yang lebih dinamis dan enerjik.
Tari Srimpi Lima: Warisan Ritual dari Lereng Gunung di Malang
Meskipun Tari Srimpi biasanya dikaitkan dengan budaya keraton Jawa, Malang memiliki versi tersendiri yang dikenal sebagai Tari Srimpi Lima. Tarian ini berasal dari Desa Ngadireso, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Berbeda dari Srimpi versi keraton, Srimpi Lima digunakan dalam konteks ritual, khususnya ruwatan, yaitu upacara pembersihan atau penyucian diri, terutama untuk anak-anak sukerta—anak-anak yang dianggap membawa nasib buruk.
Struktur Tarian dan Gerakan
Tarian ini dimainkan oleh lima penari perempuan yang masing-masing mengenakan sampur dengan warna berbeda sebagai penanda karakter.
Menilik riset Ninik Harini dari Universitas Negeri Malang, gerakan Tari Srimpi Lima mengikuti pola lantai berbentuk bujur sangkar, dengan formasi yang berubah searah jarum jam. Penari akan bergantian mengisi posisi tengah, menciptakan dinamika yang khas dalam setiap penyajiannya.
Meski tampak sederhana, tarian ini memiliki makna mendalam sebagai media spiritual dan budaya yang mengakar kuat di tengah masyarakat desa.
Itulah tadi beberapa tari khas Malang yang jadi warisan budaya dan perlu dilestarikan hingga saat ini. Semoga bermanfaat.