HaiMalang.com – Universitas PGRI Kanjuruhan Malang (Unikama) akan menggelar acara pengukuhan Prof Dr. Mujiono, M.Pd., sebagai Guru Besar dalam bidang bidang Ilmu Linguistik Terapan Pendidikan Bahasa Inggris. Acara Pengukuhan Mujiono ini dijadwalkan berlangsung pada Rabu 26 Februari 2025 di Auditorium Multikultural Unikama.
Di balik gelar akademik tertinggi yang disandangnya, Mujiono ternyata merupakan sosok yang menjadikan agama sebagai pondasi utama dalam perjalanan keilmuan dan pengajarannya.

Prosesi pengukuhan Prof Mujiono sebagai Guru Besar Unikama pada Rabu (26/2/2025) (Foto: Dok.)
Lantas, bagaimana kisah hidup Mujiono hingga meraih gelar Guru Besar dengan tetap berpegang teguh pada prinsip keagamaan dalam keilmuan yang ia kembangkan.
Pondasi Keilmuan dari Mushola ke Kampus, Antar Mujiono Jadi Guru Besar Unikama
Mujiono kecil dibesarkan di lingkungan sederhana di Desa Kresikan, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung. Pria yang lahir pada 5 Maret 1973 ini tumbuh dalam atmosfer religius yang membentuk pola pikir dan nilai hidupnya.
Perjalanan intelektual Mujiono dimulai dari ruang-ruang kecil tempatnya belajar agama sejak SD. Tak hanya belajar agama, ia juga aktif dan menjadi perwakilan pramuka ke tingkat kecamatan walau saat itu masih kelas 5 SD.
“Saya termasuk yang suka belajar ilmu agama mulai dari SD, belajar agama di mushola,” kenangnya.
Prof Mujiono saat ditemui pada Senin (24/2/2025) jelang pengukuhannya sebagai Guru Besar Unikama (Foto: Imam)
Komitmen ini berlanjut saat ia bertekad melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Tulungagung, meski lingkungan belajar di SMP Negeri Tanggunggunung tak banyak Pelajaran agama layaknya sekolah yang lebih berbasis agama.
“Jadi saya SMP langsung masuk MAN 1 Tulungagung, kemudian juga di Pondok Pesantren Panggung Tulungagung. Jaraknya sekitar 5 km, saya naik sepeda tapi bukan punya saya, setengah perjalanan saya nebeng teman yang berangkat,” tuturnya.
Keputusannya untuk mendalami pendidikan di lingkungan berbasis agama membekali dirinya dengan wawasan spiritual yang kelak membentuk cara pandangnya terhadap ilmu pengetahuan. Kala di MAN, ia pun aktif menjadi pengurus pondok dan belajar bahasa arab serta inggris.
Dari Tulungagung ke Hong Kong, Kisah Mujiono Menjaga Integritas Akademik dan Spiritual
Semangat belajar yang kuat mengantarnya menempuh pendidikan hingga kini menjadi guru besar. Usai lulus dari MAN, Mujiono pun berniat melanjutkan studi ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Walau lulus seleksi, ia tak mengantongi izin dari orang tua karena alasan jarak. Akhirnya ia masuk IAIN Malang (kini UIN Malang) pada 1992 dan mengambil jurusan pendidikan agama.
Bersekolah di IAIN Malang pun makin menempa Mujiono menjadi pribadi yang ulet dan religius. Sejak semester 3, Mujiono pun mulai mengajar di les bahasa inggris demi mencukupi kebutuhan hidup.
“Karena saya berasal dari keluarga yang cukup kebawah, namun alhamdulillah dari keluarga yang tidak cepat mengeluh. Apapun yang ada iti kita syukuri sehingga ndak ada kata kata tidak cukup. Sehingga sambil lalu ada tambahan (penghasilan),” tutur suami dari Dr. Siti Fatimah, M.Si. ini.
Ia pun terpilih dalam seleksi dan berhak menerima beasiswa Gudang Garam saat semester 3. Tak sampai disitu, ia juga menempa diri dalam organisasi PMII di bagian Forum Komunikasi Bahasa Asing selama berkuliah, serta aktif menjadi takmir Masjid Tarbiyah IAIN Malang.
Kolase kenangan foto Prof Mujiono (paling kiri dan kanan) bersama para pakar dan dosen saat mengikuti program Visiting Ph.D Research Students di The Hong Kong Polytechnic University (Foto: Dok. Istimewa)
Berkat keuletannya, ia menyelesaikan kuliah selama 4 tahun alias tepat waktu dan lulus pada 1996. Usai bergelar S.Ag, ia meneguhkan niat mendalami bahasa inggris dengan kembali menempuh pendidikan sarjana jurusan bahasa inggris di IKIP Budi Utomo Malang dan lulus pada 2002.
Kala itu, ia juga tercatat sebagai mahasiswa jenjang magister di Universitas Negeri Malang di bidang teknologi pendidikan. Kecintaannya pada bahasa inggris ia lanjutkan dengan menempuh pendidikan magister pendidikan bahasa inggris di Universitas Islam Malang dan lulus pada 2008.
Sebagai dosen di Unikama, karirnya pun terus melejit. Usai menjadi kepala program studi (Kaprodi) Bahasa Inggris selama dua periode sejak 2003 hingga 2008, ia pun bergabung dalam tim penjamin mutu di Unikama pada 2009.
Hingga akhirnya ia berkesempatan meraih beasiswa untuk melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas Sebelas Maret (UNS) dan lulus pada 2013. Tahun 2010, ia juga memperoleh kesempatan untuk mengikuti program Visiting Ph.D Research Students di The Hong Kong Polytechnic University, sebuah pengalaman yang memperkaya wawasannya dalam linguistik terapan.
“Kemudian 2009 saya di penjaminan mutu. Tahun 2009 itu juga melanjutkan s3 dengan beasiswa dari pemerintah. Baru tahun 2010 saya berangkat ke hongkong untuk mengambil Visiting PhD research student,” tuturnya.
Prof Mujiono (kiri) saat masih menjabat sebagai Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Unikama (Foto: Dok. Unikama)
Setelah menyelesaikan studi pada tahun 2013, Prof. Mujiono menjabat sebagai Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) selama dua periode, dari 2013 hingga 2017, kemudian berlanjut hingga 2021. Setelah itu, pada 2021 hingga 2023, beliau mengemban amanah sebagai Wakil Direktur Bidang Akademik di Direktorat Pascasarjana, yang kini telah bertransformasi menjadi Sekolah Pascasarjana Unikama.
Puncaknya pada tanggal 22 November 2024, Mujiono menerima surat Keputusan (SK) menjadi Guru Besar dan menjadi momen bersejarah bagi karirnya.
Namun, dalam setiap perjalanan akademiknya, ia tetap membawa nilai-nilai Islam. “Masing-masing orang punya cara tersendiri dalam karir akademik. Saya memang suka belajar agama, namun tidak menginginkan di struktural yang agamis seperti IAIN atau lainnya. Tapi saya tetap ingin keilmuan saya berbasis agama yang kuat.”
Cara Mujiono Konsisten Integrasikan Ilmu dengan Nilai-Nilai Keislaman
Meski kemudian mendalami pendidikan bahasa Inggris, agama tetap menjadi fondasi pemikiran Mujiono hingga kini menjadi Guru Besar Unikama.
“Saya tetap ingin menggunakan keilmuan saya dengan berbasis agama yang kuat, baik di keilmuan bahasa maupun lainnya dengan based good religion,” ungkapnya.
Pendekatan ini tidak hanya diterapkannya dalam penelitian, tetapi juga dalam pengajaran kepada mahasiswa.
“Kalau pas ngajar, kadang-kadang dalil saya masukkan. Jadi kalau pas kita ngomong sesuatu, cocok saya masukkan. Termasuk juga pada mahasiswa bimbingan saya, saya sampaikan hadist atau petuah agama lainnya,” jelasnya.
Bagi Mujiono, agama bukan sekadar nilai tambahan dalam pendidikan, melainkan dasar dari setiap pencapaiannya.
“Jadi kalau kita mengembangkan keilmuan, basisnya tetap keagamaan. Termasuk saat saya membuat penelitian, saya mulai dari kajian teori dulu. Jadi theoretical framework-nya dulu, kemudian dikembangkan dengan empirical study, semuanya based on religion.”
Ia juga menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama akademisi, sebagai bentuk hablumminannas dalam Islam.
“Kalau kita mengandalkan diri kita sendiri, nggak cukup. Kan ada hablumminallah dan hablumminannas. Nah, hubungan horizontal ini kita manfaatkan untuk saling tukar keilmuan,” ujarnya.
Menjadi Profesor, Menjadi Ujian
Bagi Mujiono, pencapaian gelar Guru Besar bukan hanya sebuah prestasi, tetapi juga amanah yang besar.
“Kalau saya pada dasarnya bersyukur ke hadirat Allah SWT karena ini semata-mata rezeki. Keilmuan ini juga merupakan ujian. Dengan itu, kita otomatis mempunyai tanggung jawab yang lebih besar. Saya bersyukur bahwa ini anugerah Allah.”
Kini, dengan segala pencapaiannya, Mujiono terus berkomitmen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang berlandaskan agama. Baginya, agama bukanlah batasan dalam ilmu, melainkan sumber inspirasi yang menjadikan ilmunya semakin bernilai.
“Agama menjadi pondasi bagi saya sendiri dan bagi keluarga. Dari pondasi tersebut, keilmuan kita menjadi kuat,” pungkasnya.
Reporter: Imam Abu Hanifah
Editor: Imam