Haimalang – Dua tahun tragedi Kanjuruhan berlalu, namun luka itu masih terasa. Tepat pada 1 Oktober 2022, tragedi Kanjuruhan terjadi, menggoreskan memori kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Stadion Kanjuruhan Malang menjadi saksi bisu atas tewasnya 135 jiwa penonton sepak bola.
Hari itu, sorak sorai suporter memadati stadion, menyanyikan lagu-lagu andalan untuk mendukung Arema saat menjamu Persebaya. Meski Arema harus kalah dengan skor 2-3, tak ada yang menyangka bahwa pertandingan tersebut akan berakhir dengan peristiwa mengerikan.
Situasi mulai tak terkendali di menit-menit akhir babak kedua. Beberapa penonton turun ke lapangan, dan di saat yang sama, petugas keamanan menembakkan gas air mata, tak hanya ke lapangan, tetapi juga ke arah tribun penonton. Gas air mata itu memicu kepanikan massal. Ribuan suporter berusaha berebut keluar melalui pintu stadion, yang berujung pada tragedi berdesakan dan sesak napas.
Dengan jumlah penonton yang mencapai 42.588 orang, stadion yang berkapasitas 38.054 tidak mampu menampung kepanikan tersebut. Setelah dilakukan penyelidikan, terungkap bahwa kelebihan kapasitas ini terjadi karena panitia mencetak 43.000 tiket. Selain itu, penggunaan gas air mata di dalam stadion, yang jelas dilarang oleh FIFA, memperburuk situasi.
Akibat insiden ini, 135 orang dinyatakan tewas, sementara 596 lainnya mengalami luka ringan hingga sedang, dan 26 orang mengalami luka berat. Setelah proses penyelidikan, enam orang ditetapkan sebagai tersangka yang dianggap bertanggung jawab atas tragedi ini.
Dalam tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang, enam orang dinyatakan bertanggung jawab. Salah satu tersangka adalah AKP Bambang Sidik Achmadi, Kepala Satuan Samapta Polres Malang, yang diduga terlibat dalam pengamanan yang berujung pada insiden tersebut.
Selain Bambang, ada juga AKB Hasdarman, Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur, yang ikut bertanggung jawab atas penanganan situasi di lapangan. Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kepala Bagian Operasional Polres Malang, juga ditetapkan sebagai tersangka karena perannya dalam pengaturan pengamanan pertandingan.
Selain pihak kepolisian, Abdul Haris, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan, dinyatakan tersangka karena perannya dalam mempersiapkan laga antara Arema dan Persebaya.
Sementara itu, Suko Sutrisno, Security Officer Arema FC, turut bertanggung jawab karena dianggap gagal memastikan keselamatan penonton.
Dari keenam tersangka, lima di antaranya telah menjalani persidangan dan divonis hukuman penjara. Vonis terberat dijatuhkan kepada Abdul Haris dan AKB Hasdarman, masing-masing dihukum 1 tahun 6 bulan penjara.
Dua terdakwa lainnya, AKP Bambang Sidik Achmadi dan Kompol Wahyu Setyo Pranoto, yang sempat divonis bebas, akhirnya dihukum oleh Mahkamah Agung dengan vonis penjara 2 tahun 6 bulan.
Keluarga korban pun menyesalkan, Akhmad Hadian Lukita, mantan Direktur Utama LIB, belum diadili karena dinyatakan tak cukup bukti.
Hukuman tersebut dianggap belum memenuhi rasa keadilan, terutama oleh keluarga korban yang masih berduka. Hukuman itu dianggap tak sebanding dengan ratusan nyawa yang jadi korban.
Di sisi lain, pemerintah langsung melakukan renovasi stadion dengan anggaran Rp 331 miliar, termasuk membangun museum untuk mengenang tragedi ini.
Bagi keluarga korban tragedi Kanjuruhan, air mata belum sepenuhnya mengering, dan keadilan yang diharapkan masih belum sepenuhnya terwujud. Tragedi Kanjuruhan tetap menjadi luka yang belum sembuh bagi mereka.
Hingga kini, isak tangis keluarga korba masih terdengar. Air mata itu belum mengering. Luka itu belum sembuh, keadilan itu belum tuntas.