Home NewsPerjalanan Suryanto, Guru Ngaji di Bondowoso Sukses Rintis Usaha Berkat Local Preneur Indonesia

Perjalanan Suryanto, Guru Ngaji di Bondowoso Sukses Rintis Usaha Berkat Local Preneur Indonesia

by Imam Abu
0 comments

HaiMalang.com – Kisah ketekunan dan perjuangan hidup Suryanto, seorang guru ngaji yang kini juga merintis usaha kecil patut jadi inspirasi.

Tinggal di pelosok Dusun Kedawung Anten, Desa Botolinggo, Kabupaten Bondowoso, taraf hidup keluarga Suryanto meningkat usai merintis usaha berkat Local Preneur Indonesia.

Untuk mencapai rumahnya, dibutuhkan perjalanan sekitar tiga hingga empat jam dari pusat kota—melewati jalanan yang tidak selalu ramah.

Cerita hidup Suryanto sebagai guru ngaji bagi anak-anak di desa berubah tatkala ia dipertemukan dengan Baskoro, founder Local Preneur Indonesia yang juga dikenal sebagai founder Climate Change Frontier.

“Pertama saya kali kenal beliau dari teman saya, kemudian ketemu di alun-alun Bondowoso. Kemudian beliau minta nomor saya, saya dihubungi,” kisah Suryanto membuka percakapannya.

Pertemuan sederhana di alun-alun Bondowoso menjadi titik awal perubahan besar dalam hidup Suryanto.

Ketika Baskoro menanyakan apakah ia memiliki usaha di rumah, Suryanto hanya bisa menggeleng. “Saya bilang belum ada dan pingin punya usaha,” kenangnya.

Keinginan itu tidak dilewatkan oleh Suryanto. Lewat Local Preneur Indonesia, Suryanto mendapat modal usaha awal sebesar senilai dua juta rupiah. Modal itu berupa uang dan lengkap dengan perlengkapan dagang.

“Jualan sosis, pentol, dan lainnya. Saya diberi modal perlengkapan dan uang operasionalnya sekitar 2 juta,” ujarnya.

Ia pun memulai langkah pertama merintis bisnis kecil jualan jajanan dan makanan di rumahnya.  Bersama sang istri, usaha itu terus berjalan hingga beberapa tahun. Pada 2023, bantuan kembali datang—kali ini dalam bentuk modal ternak bebek petelur.

“Saya diberikan modal sekitar 3 juta, 2 juta pertama dan kemudian ada tambahan 1 juta. Dari 20 ekor sampai 30 ekor bebek petelur,” ucap Suryanto.

Namun, hasilnya belum seperti yang diharapkan. “Jadi penghasilan dari situ cuma cukup saja dan belum menghasilkan keuntungan,” tuturnya jujur.

Tak putus asa, Suryanto dan keluarganya memutar haluan. Bebek dijual, dan dimulailah usaha warung sembako di rumah mereka—sebuah langkah baru yang lebih menjanjikan.

“Kalau jualan sosisnya masih tetap. Jualan sosis, bakso, pentol bakar, gehu. Jadi warga kalau mau beli sembako ya ada, beli sosis atau jajanan lainnya ya ada,” katanya, tersenyum.

Tak hanya membantu usaha, Baskoro bahkan turut membangun musholla di dekat rumah Suryanto.

“Beliau tidak pernah meminta imbal balik sepeserpun sampai saat ini. Sampai musholla di dekat rumah itu dibantu beliau juga. Sampai punya karpet juga,” ucap Suryanto penuh rasa syukur.

Bagi Baskoro, membantu masyarakat yang ingin meningkatkan taraf hidup dengan berwirausaha bukan soal pencitraan, tapi panggilan hati.

“Mungkin karena dulu saya juga susah seperti mereka. Jualan di pinggir jalan,” katanya, mengenang masa lalu yang membuatnya paham benar arti perjuangan hidup.

Baskoro pun memahami betul tantangan mengajak orang untuk memulai usaha.

“Di Indonesia, memang ciri khasnya berwirausaha itu by survival. Jadi orang ketika tidak punya pekerjaan, tidak punya pekerjaan. Makanya pada saat seseorang yang awalnya bukan siapa-siapa dengan desakan kebutuhan hidup dan kemudian kita kasih modal usaha, ya mereka nolak,” ujarnya lugas.

Namun ia tidak menyerah. “Misal saya ndak ngomong target market, saya ganti misalnya bagaimana caranya laris,” tambahnya. Pendekatan yang membumi, dan justru berhasil.

Kini, setiap hari Suryanto pergi ke pasar untuk mengisi kebutuhan warung kecilnya. “Alhamdulillah pelanggan jualan kami luar biasa,” katanya.

Harapan Suryanto begitu sederhana. Bila nantinya mendapat rejeki lebih, ia berencana membesarkan usahanya.

Dari seorang guru ngaji di desa terpencil, kini Suryanto adalah contoh nyata bagaimana niat baik dan kepedulian bisa mengubah hidup seseorang—dari nol menjadi berarti.

Writer: Imam Abu Hanifah

You may also like